BAB
I
PENDAHULUAN
Tidak hanya kerajaan di pulau
Jawa yaitu Majapahit dan lain sebagainya, di Balipun juga terdapat kerajaan –
kerajaan yang cukup terkenal , pada zaman dahulu berdiri pula beberapa kerajaan
di Bali. Setiap kerajaan memiliki kisah dan sejarahnya sendiri. Kerajaan di
Bali antara lain kerajaan Bali Kuno, kerajaan Buleleng, kerajaan Karangasem dan
sebagainya. Kerajaan di Bali memiliki nama yang kemudian menjadi nama kabupaten
atau daerahnya saat ini.Kerajaan tertua di Bali adalah kerajaan Bali kuno yang
berdiri sekitar abad 900 M. Sejarah kerajaan ini dapat diketahui dari
peninggalan prasasti di desa Blanjong, sebuah prasasti tertua Bali dan dari
kitab sejarah dinasti Tang disebutkan tentang kerajaan Bali. Pusat kerajaannya
terletak di Singhamandawa. Raja pertama yakni Sri Ugranesa. Hal yang menarik
adalah mengenai runtuhnya kerajaan Bali ini. Keruntuhan terjadi karena patih
saktinya yang bernama Kebo Iwa berhasil ditaklukkan oleh Patih Gajah Mada dari
Majapahit.
BAB II
PEMBAHASAN
Momentum Emas 800 Bangli, 11 Abad
Singhamandawa (16)
Jejak sejarah Bangli dalam
rentang 800 tahun, dari masa sebelum Italia di belahan dunia Barat memfajarkan
cakrawala Renaisan hingga paro awal abad ke-21 sekaligus milenium ke-3 ini,
tiada ubahnya dengan perjalanan pulang menuju pusat sekaligus hulu jantung
Bali. Posisi Bangli dengan kawasan situs Cintamani-Kintamani, Batur, begitu
sentral dan strategis, memang, dalam keutuhmenyeluruhan kosmologi Bali sebagai
satu kesatuan pulau alit yang dikelilingi lautan.
Dalam peta kesejarahan Bali,
kawasan situs Cintamani-Kintamani, Batur, bahkan telah tercatat otentik ada
sejak prasasti — sebagai pertanda peradaban keberaksaraan — pertama ditemukan
di Sukawana berangka tahun 804 Saka (882 M). Ditambah dengan temuan prasasti
Pura Kehen, Bangli, yang sejauh ini diakui para ahli efigrafi dan paleografi
Bali sebagai contoh otentik aksara Bali Kuno tertua sekaligus suratannya
terindah, maka lengkap sempurnalah gumi Bangli sebagai sumber mata-air bagi
alir peradaban air maupun peradaban aksara gumi Bali. Di bawah ini akan di
uraikan kerajaan yang pernah ada di Bali.[1]
:
1.
Kerajaan – kerajaan di Bali
a)
Kerajaan Singhamandawa
Selain prasasti – prasasti yang berbahasa sansekerta dan
cap tanah liat berisi mantra- mantra agama Budha, kita jumpai pula beberapa
buah prasasti yang mengunakan bahasa Bali kuno. Prasasti – prasasti ini
mengunakan tanggalan dan juga angka tahun, tetapi tidak mengeluarkan nama –
nama raja yang mengeluarkan prasasti tersebut, jumlah yang di ketemukan tujuh
buah dan angka tahun antara 804 S – 836 S prasasti ini di namakan tipe yumu pakatahu . Selanjutnya bahwa
perintah (ajna) di turunkan di panglapuan di Singhamandawa. Selain itu
juga ada delapan prasasti tipe yumu
pakatahu yang menyebut nama
Sang Ratu Sri Ugrasena
dan juga menyebut Panglapuan
di Singhamandawa, prasasti dari Raja Ugrasena itu berangka tahun 837 – 836 S,
salah satu dari prasasti ini adalah prasasti julah(837 S) menyebutkan Samahanda Senopati di Panglapuan, panglapuan
di Brsabha dan di Baranasi. Di mana letak Singhamandawa sampai sekarang
belum di ketahui letaknya, mungkin letak Singhamandawa ini terletak di antara
Kintamani (Danau Batur) dan pantai Sanur. Yaitu kira – kira di daerah Tanpak
siring dan Pejeng atau aliran sungai Patanu dan Pakarisan Menurut beberapa
orang tua yang sering membaca banyak kitab – kitab lontar mengatakan bahwa
Singhamandawa terletak di desa Pejeng sekarang, namun pendapat tersebut hanya
perkiraan saja yang belum dapat di buktikan kebenarannya. Perlu di tambah di
sini bahwa nama Singhamandawa mengandung unsur perkataan singha (singa) dan Mandawa?.
Selanjutnya nama Brsabha (wrsabha)
berarti lembu jantan dan Baranasi (waransi) berasal dari nama kota yang
terkenal di India. Di Bali sekarang banyak nama yang berunsur dari kata singa
yaitu Singaraja di pantai utara Bali dan dua buah desa yang terdapat di
Gianyar, yaitu Singapadu dan Singakerta.
v
Prasasti – prasasti yang di temukan di
Singhamandawa.
·
Prasasti berangka tahun 804 S/882 M yang berisi
antara lain: Perintah( syuruhku) pada
senopati Danda, Kumpi marodaya dan tiga orang bhiksu
supaya membangun pertapaan dan pesangrahan di daerah perburuan di bukit Cintami.
·
Prasasti berangka tahun 818 S/896 M yang berisi
antara lain: Tentang perintah pemberian izin kepada nayakan praddana kumpi ugra dan bhiksu
Widyaruwana agar membangu sebuah kuil untuk Hyang Api di desa Banwa Bharu.
·
Prasasti berangka tahun 833 S/911 M yang berisi
antara lain: Tentang pemberian izin kepada penduduk desa Turunan untuk
membangun kuil bagi Bhatara Da Tonta.
·
Prasasti selanjutnya berangka tahun 833 S/911 N,
isinya antara lain: Isinya bagian permulaan sama dengan prasasti di desa
Turunan, selanjutnya di atur juga perihal orang desa Air Rawang yang tinggal di
daerah desa Turunan di sebelah timur teluk danau Batur yang biasa di sebut sekarang.
·
Prasasti berangka tahun 836 S/914 M, yang berisi
antara lain: Pemberian izin kepada kuil Ida
Hyang di bukit tunggal paradyan Indrapura di desa Air Tabar.
·
Prasasti lainnya juga berasal dari panglapuan
Singhamandawa, namun tidak berangka tahun, yang isinya antara lain: Memberi
izin kepada Bhiksu Siwarudra, Anantasukma, dan Prabawa serta kepada
penduduk di Simpatbunut di bawah perintah kehutanan supaya mendirikaan kuil di
Hyang Karimama yang di hubungkan dengan kuil Hyang Api.
Babarapa keterangan – keterangan
prasasti tersebut bahwa di pulau Bali sekitar abad ke-8 M telah ada kerajaan
yang pemerintahannya berada di Singhamandawa, siapa nama raja yang memerintah
tidak di ketahui, kecuali beberapa orang pejabat tinggi pemerintah yang di
sebut dalam prasasti seperti Senapati
danda, Manuratang ajna, Nayakan makarun, Ser panghurwan.
Tetapi beberapa buah prasasti
yang berangka tahun 837 S – 888 S ada yang menyebutkan nama raja Ugrasena dan
menyebut Panglapuan di Singhamandawa, prasasti ini juga tergolong tipe yumu paka tahu, karena itu dapat di
pastikan bahwa Sri Ugrasena seorang raja yang pernah berkuasa di Bali dengan
pusat pemerintahan di Singhamandawa.
Ø Prasasti
pertama berangka tahun 837 S/915 M, yang berisi antara lain: Tentang desa
Sandungan yang di tetapkan berda di bawah pengawasan kepala kehutanan.
Ø Prasasti
kedua berangka tahun 839 S/917 M, yang berisi antara lain: Sang Ratu Sri
Ugrasena, di katakana bahwa raja pergi ke desa Buwunan.
Ø Prasasti
yang berangka tahun 846 S/924 M, yang berisi antara lain: Pembebasan penduduk
Kudungan dan Silihan yang semula memikul beban berat kerja rodi di bawah
pemerintahan Ser (pemimpin).
Ø Prasasti
yang berangka tahun 855 S/933 M, yang berisi antara lain: Desa Haran yang di
izinkan mendirikan pesangrahan dan kuil Hyang Api di Manasa dan Batuan.
Ø Prasasti
yang berangka tahun 857 S/935 M, yang berisi antara lain: Penduduk desa
Percanigayan yang di izinkan membangun pesanggrahan di kuil Hyang Api.
Ø Prasasti
berangka tahun 864 S/942 M, yang isinya sama dengan prasasti di atasnya.
Ø Prasasti
tembaga yang berangka tahun 888 S/966 M, tahun ini agak permaisurinya Sri
Subadrika Darmadewi. Demikian isi singkat prasasti Bali kuno yang menyebutkan
pusat pemerintahan.
b) Wangsa
Warmmadewa
Nama ini
mulai muncul sejak tahun 835 S, keterangan ini di peroleh dari tiga buah
prasasti batu berbentuk tugu atau pilar yang di pahat berbentuk melingkar.
Ketiga prasasti tersebut menyebutkan nama Raja Sri Kesariwarmmadwa. Setelah itu
di temukan nama seorang raja lain yang bernama Jana sadhu Warmmadewa memerintah
pada tahun 897 S.
Pada tahun
905 S, muncul seorang raja perempuan bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi,
menurut Van stein ratu ini mungkin puteri dari kerajaan Sriwijaya di Sumatera,
atau adanya perluasan wilayah kekuasaan Sriwijaya ke Bali.
Kemudian
muncul lagi raja yang bernama Dharma Uda ya Warmadewa ia memerintah bersama
dengan permaisurinya yang di sebut Gunapriya Dharmapatni seorang puteri dari
Jawa Timur. Berdasarkan prasasti yang di temukan Dapat di duga bahwa Gunapriya
mangkat antara tahun 932 S, sedangkan Udaya mangkat pada tahun 933 S, di atas
di dasarkan prasasti Air Hawang. Dari perkawinannya Udaya dan Gunapriya
memiliki beberapa putra yang di antaranya adalah Airlangga yang lahir pada
tahun 922 S di Bali. Dan masih punya anak muda satu lagi yaitu bernama
Marakatapangkaja dan Anak wungsu, mereka lahir di antara tahun 923 S. karena
Airlangga tidak pernah memerintah di Bali, maka pengganti kedua orangtuanya
adalah Dharmawangsawardhana Marakatapangkaja Sthanotuggadewa.
c) Wangsa lainnya di Bali
Setelah pemerintahan
Sri walaprabu, kemudian muncul ratu putri bernama Paduka Sri Maharaja
Srisakalendukirana Isana Gunadharma Laksmidara Wijayotunggadewi. Sejak zaman Jayasakti
di pulau Bali memerintah beberapa orang raja yang menggunakan unsur nama Jaya,
seperti halnya dengan raja Jayabaya di kadiri bagaimana hubungan antara raja –
raja Bali dengan Jawa blom di ketahui dengan jelas.
Jayasakti di
ganti oleh raja Ragajaya. Ia memerintah pada tahun 1077 S, berapa tahun ia
memerintah tidak dapat di ketahui dengan pasti karena sampai sekarang hanya
satu prasasti yang menyebutkan Ragajaya.
Dari sumber
sejarah yang tidak kurang penting, yaitu kitab Usana Bali (abad XVI M) di sebut
juga nama raja Jayapangkus yang memerintah setelah raja Jayakasunu, tetaapi nama
raja Jayakusunu belum pernah di jumpai dalam prasasti, senaliknya raja
Jayapangkus, Ragajaya keduanya tidak di kenal dalam cerita tradisi.
Prasasti
Jayapangkus yang tersimpan di kerobokan menyebut nama raja – raja bersama
permaisurinya, tidak lama setelah Jayapangkus meninggal kedudukannya di ganti
oleh raja yang bernama Sri Maharaja Haji Ekajayalancana ia memerintah bersama –
sama ibunya. Empat tahun kemudian muncul raja bernama Bhatara Guru Sri
Adikuntikentana. Pada tahun 1246 S muncul seorang raja lagi bernama Paduka
Bhatara Guru, oleh Goris raja ini di sebut Bhatara Guru II, Ia si sebut bersama
– sama dengan anaknya bernama Sri Tarunajaya. Kemudian pada tahun 1259 S yang
memerintah di Bali adalah raja Paduka Bhatara Sri Astatura Ratna Bumi Banten. Ratna ini adalah
raja bali yang terakhir enam tahun setelah Gajah Mada berhasil menaklukan Bali.[2]
2. Struktur pemerintahan
a. Para
Senapati
Untuk
mengetahui susunan pemerintahan yang ada di Bali pada masa lampau, peneliti
banyak mengalami kesukaran, hal ini karena tidak semua raja yang memerintah di
bali meninggalkan keterangan. Untuk mengatasi hal ini maka di sini akan di coba
mengambarkan susunan pemerintahan yang ada di Bali. Dalam pemerintaha raja
mereka di bantu oleh suatu badan penasihat pusat, dalam prasasti tertua 804 S –
836 S, badan itu di sebut panglapuan, somahanda senopati di panglapuan,
pasamaksa dan palapakna. Menurut Goris para senapati dapat dibandingkan dengan
senapati pada zaman kerajaan Gelgel dan Klungkung, selain itu senapati juga
berkuasa sebagai hakim di daerahnya, serta sebagai hulubalang. Selanjutnya pada
masa Adipati Sri Kesari Warmadewa susunan pemerintahan bahwa panglapuan sudah
tidak di Singhamandawa melainkan di Singhadwala.
Lebih lanjut
di dalam pemerintahan Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi mulai muncul jabatan
baru yaitu senapati Dalmbunut dan Warasani. Di samping itu ada senapati
lagi yaitu Warsabha, Digangga, dan
Sarbwa.
Pada zaman pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udaya, Badan penasehat
pusat di sebut dengan Senapati Ser nayaka di pasamaksa palapknan
makasupratibaddha atau Sang Senapati Ser Nayaka ring pasamaksa palapknan
makabehan, badan ini beranggota Mpungku Sogata Maheswara dan para Senapati.
Suatu masa
pemerintahan raja Maratapangkaja yang menghasilkan beberapa buah prasasti yang
di dalamnya tercatat beberapa senapati di antaranya Senapati Balmbunut:Mpu
Wijnana, Senapati Diganga: Pu Kandara, Senapati Tunggalan: Mpu Gosaya, Senapati
Pinatih: Mpu Gupir, dan Senapati Kuturan: Mapanji Putuputu.
Pada zaman
Jayasakti Senapatinya adalah Senapati Dinganga: Mpu Kahaji, Senapati Sarbwa:
Mpu Anggatanding, Senapati Miriningin: Mpu Singhasarana. Sedangkan pada masa raja Jagajaya Senapatinya
adalah Senapati Balmbunut: Mpu Tamajarah, Senapati Dinganga: Mpu Kahaji, Senapati
Sarbwa: Mpu Curigaraja, dan Senapati Miniring: Mpu Wasangsara. Akhirnya zaman
raja Jayapangkus adalah Senapti Balmbunut: Mpu Anakas, Senapati Dinganga: Mpu
Udasena, Senapati Sarbwa: Mpu Singsih, dan Senapati Miniring: Mpu Amulurung.
b. Para
Pendeta Siwa dan Buddha
Golongan ke
dua yaitu para pendeta, yang di dalam prasasti di sebut Bhiksu, di dalam
prasasti golongan pendeta agama Siwa disebut dengan gelar Dang Acaryya,
sedangkan golongan pendeta agama Buddha dengan gelar Dang Upadhyaya. Sewaktu
pemerintahan raja Jayagaya dan Jayapangkus jumlah Dang Acaryya juga lebih
besar. Prasasti dari raja Jayagaya menyebutkan ada 16 orang Dang Acaryya dan 5
orang Dang Upadhyaya.
Selain itu
pada masa pemerintahan Anakwungsu para pendeta besar baik agama Siwa maupun
agama Buddha dan pengganti – penggantinya di sebut juga sebagai Mpungku.
Seperti halnya para Senapati para pendetapun mengalami masa pergantian
kedudukan contohnya pada raja AnakWungsu.[3]
3. Struktur Masyarakat
v Golongan
Masyarakat
Struktur
Masyarakat di Bali sangat sulit di ketahui karena kurangnya bahan – bahan untuk
penelitian, namun ada beberapa hal yang penting yang menyangkut struktur
masyarakat di Bali pada masa lampau di antaranya:
·
Pembagian golongan di dalam masyarakat,
Sewaktu
pemerintahan Anakwungsu masyarakat di bagi menjadi dua kelompok besar, yaitu
golongan Carut Warna dan luar kasta atau budak.
·
Pembagian warisan,
Pembagian
warisan di Bali mirip dengan di Jawa yaitu laki – laki mendapat bagian lebih
besar dari pada perempuan.
·
Kesenian,
Di dalam
prasasti – prasasti sebelum Anakwungsu di sebut beberapa seni yang ada pada
waktu itu, kemudian pada masa Anakwungsu ada dua kelompok seni yaitu seni
kraton dan seni rakyat. Pada masa pemerintahan Gunapriya dan Udaya seni tonton
juga sudah di bedakan menjadi dua yaitu seni kraton dan seni rakyat(keliling).
·
Agama dan kepercayaan.
Dalam bidang
agama masyarakat Bali sebelum agama Hindhu dan Siwa datang kepercayaan mereka
Animisme, kemudian setelah agama Budha dan Siwa datang para raja dan masyarakat
memeluk agama tersebut bahkan sampai sekarang pemeluk agama Budha terbesar di
Indonesia adalah di Bali.
v Perekonomian
Rakyat
Umumnya
masyarakat Bali sejak zaman dahulu hidup bercocok tanam, hal ini dapat di
ketahui dalam prasasti - prasasti yang menyebut sawah, lading, kebun, lading
daerah gunung dan pengairan sawah. Pengolahan sawah khususnya mendapat
pengolahan yang lebih seperti halnya sekarang. Selain bercocok tanam mereka
juga memlihara binatang ternak seperti: itik, kambing, sapi, anjing, kuda dan
kerbau
BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan yang
singkat ini dapat di ambil beberapa kesimpulan diantaranya bahwasannya pada
masa Kerajaan di Bali sumber – sumber sejarah yang di dapat kurang begitu jelas
sehingga para sejarawan kesulitan dalam pencarian keterangan tentang kerajaan –
kerajaan yang ada di Bali. Keterangan yang di dapat dari prasasti – prasasti
seperti pada masa kerajaan Singhamandawa di temukan tujuh buah prasasti, di
antaranya prasasti yang berangka tahun 818 S dll. Kerajaan Wangsa warmmadewa di
temukan tiga buah prasasti diantaranya prasasti yang berangka tahun 905 S dll.
Struktur pemerintahan kerajaan Bali di kenal adanya para Senapati dan
pendeta(Bhiksu). Struktur masyarakat adanya penggolongan dalam masyarakat,
pembagian warisan, kesenian dan agama atau kepercayaan, ekonomi masyarakat pada
saat itu adalah masyarakat hidup bercocok tanam dan memelihara binatang.
DAFTAR
PUSTAKA
Pusponegoro,Marwati
Joened. Marwati Djoened. Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia II. 1997.Jakarta: Balai Pusataka.
Wikipedia. Tentang Balidwipamandala. (tanggal 7
april 2012. Jam 08 : 30 wib).